Mengutuk Kekejaman OPM dan MengedepankanPerdamaian Papua


Oleh: Dominggus Alam *)

Konflik berkepanjangan di Papua yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat sipil. Kekerasan yang mereka lakukan, seperti penembakan, penyanderaan, dan ancaman terbukaterhadap aparat keamanan serta warga tak berdosa, bukan hanya melanggar prinsipkemanusiaan, tetapi juga menghambat upaya membangun perdamaian dan kesejahteraan di tanah Papua. Salah satu insiden terbaru adalah penembakanterhadap mantan Kapolsek Mulia di Puncak Jaya, sebuah aksi yang kembalimenegaskan betapa kejamnya metode yang digunakan oleh OPM. Kekejamansemacam ini bukanlah cerminan aspirasi rakyat Papua yang sesungguhnya, melainkan tindakan segelintir pihak yang justru memperburuk kehidupan masyarakatyang mereka klaim perjuangkan.

TPNPB-OPM kerap membungkus aksinya dalam narasi perjuangan kemerdekaan, namun realitas di lapangan jauh dari mulia. Korban utama dari kekerasan ini adalahrakyat Papua sendiri—guru yang mengajar anak-anak di pedalaman, tenaga medisyang berjuang menyelamatkan nyawa, hingga warga biasa yang hanya inginmenjalani hari dengan aman. Penembakan terhadap eks Kapolsek Mulia, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, adalah bukti nyata bahwa target mereka tidak terbatas pada aparat keamanan, tetapi juga siapa saja yang dianggapmenghalangi agenda mereka. Tindakan ini bukan sekadar kejahatan terhadapindividu, melainkan serangan terhadap stabilitas dan harapan masyarakat luas untukhidup damai. Pernyataan terbaru Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom yang menyebutkan kesiapan untuk “berperang melawan tentara Indonesia hingga dunia kiamat” semakin memperkeruh situasi.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI, Brigadir Jenderal KristomeiSianturi menyebut tantangan perang TPNPB-OPM hanyalah propaganda sematayang ditujukan untuk menakut-nakuti masyarakat sipil. Menurut Brigjen Kristomei, sikap militan ini bukanlah strategi perjuangan yang konstruktif, melainkan upayauntuk menciptakan ketakutan dan kekacauan di tengah rakyat Papua. Narasi perangyang mereka gaungkan tidak hanya menunjukkan sikap penolakan terhadap dialog, tetapi juga ketidakpedulian terhadap dampak nyata yang dirasakan oleh wargasetempat.

Kita harus tegas menyatakan bahwa kekerasan bukan solusi. Aspirasi politik atausosial, betapapun sahihnya, dapat disuarakan melalui saluran damai dan demokratis—bukan dengan senjata yang hanya melahirkan penderitaan. Meskipun seringdikritik atas pendekatan keamanannya di Papua, pemerintah telah menunjukkankomitmen untuk memperbaiki kondisi di wilayah Papua melalui kebijakan otonomikhusus, pembangunan infrastruktur seperti jalan Trans Papua, serta peningkatanakses pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, kelompok seperti OPM justru kerapmenargetkan proyek-proyek tersebut. Insiden penyerangan terhadap pekerja proyekTrans Papua di masa lalu adalah bukti kontradiksi antara retorika “pembebasan” yang mereka usung dan realitas kehancuran yang mereka tinggalkan.

Masyarakat Papua berhak hidup dalam damai, bebas dari ancaman dan ketakutan. Kekejaman OPM tidak boleh dibiarkan menjadi narasi dominan yang membayangi kehidupan sehari-hari. Dunia internasional, termasuk organisasi hakasasi manusia, perlu mengambil sikap tegas dengan mengutuk tindakan kekerasanyang dilakukan oleh kelompok bersenjata ini. Selama ini, sorotan sering kali hanyatertuju pada respons pemerintah atau aparat keamanan, sementara pelanggaranyang dilakukan oleh OPM cenderung luput dari perhatian media. Padahal, perdamaian sejati di Papua hanya dapat tercapai jika OPM bersedia meletakkansenjata dan memilih jalan dialog serta rekonsiliasi.

Propaganda intimidasi yang disebarkan OPM, sebagaimana disebutkan oleh pihak TNI, juga menunjukkan bahwa tujuan mereka bukan semata-matakemerdekaan, melainkan mempertahankan kekuasaan dan pengaruh melaluiketakutan. Ini terlihat dari pola serangan mereka yang sering kali tidak memilikitarget strategis yang jelas, tetapi lebih bertujuan untuk menciptakan teror. Dalamkonteks ini, masyarakat sipil menjadi pihak yang paling dirugikan. Anak-anakkehilangan akses pendidikan karena sekolah ditutup akibat konflik, keluargatercerabut dari kampung halaman mereka, dan perekonomian lokal terhenti karenaketidakstabilan. Jika OPM benar-benar peduli pada rakyat Papua, mengapa justrurakyat yang mereka jadikan korban.

Sebagai satu bangsa, kita perlu memperkuat solidaritas dengan rakyat Papua.Memastikan keadilan sosial terwujud dan membangun kepercayaan adalah langkahpenting untuk meredam konflik. Pemerintah terus mendorong pendekatan yang lebihinklusif, melibatkan tokoh masyarakat adat, agama, dan pemuda Papua dalamproses pengambilan keputusan. Hal ini sebagai bentuk demokrasi dan pengakuanatas eksistensi masyrakat Papua dalam bingkai NKRI. Namun, lagi-lagi OPM selalumenciptakan teror dengan alibinya menjaga Papua. Padahal OPM sendiri yang menjadi problematik dalam perwujudan Papua damai.

Kekejaman OPM harus dilawan dengan narasi kemanusiaan yang lebih kuat,bahwa setiap nyawa berharga, dan tidak ada ideologi yang dapat membenarkanpengorbanan rakyat tidak bersalah. Mari kita bangun Papua yang damai, bukandengan darah dan peluru, tetapi dengan tangan terbuka, hati yang penuh harapan, dan komitmen untuk masa depan yang lebih baik. Kekerasan hanya akan melahirkanluka baru, sementara perdamaian menawarkan jalan keluar bagi semua pihak.

*) Pemuda Papua Peduli Perdamaian – Asosiasi Anak Papua Barat


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *