Oleh: Sahrul Mubarak A. *)
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto merespons kebijakan tarif impor 32% dari Presiden AS, Donald Trump, dengan langkah terukur. Kebijakan ini memengaruhi perdagangan global, termasuk ekspor Indonesia. Fokus pemerintah adalah memperkuat ekonomi nasional melalui strategi yang terkoordinasi, menjaga stabilitas tanpa reaksi berlebihan.
Presiden Prabowo Subianto meyakini bahwa Indonesia memiliki kekuatan struktural untuk mengatasi gejolak ekonomi global. Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo menggarisbawahi bahwa bangsa ini telah menunjukkan ketangguhan pada berbagai krisis besar di masa lalu, termasuk krisis 1998, krisis finansial global 2008, serta pandemi Covid-19. Keyakinan tersebut menjadi dasar bagi arah kebijakan pemerintah dalam menanggapi dinamika baru ini; yakni dengan memperkuat fondasi ekonomi, mempererat kohesi sosial, dan menghindari respons yang emosional.
Langkah cepat diambil melalui koordinasi lintas kementerian. Pemerintah mengajukan proposal konkret kepada United States Trade Representative (USTR), sebagai upaya menjembatani perbedaan kepentingan dan mempertahankan kemitraan ekonomi yang selama ini telah dibangun. Pada saat yang sama, pembaruan terhadap Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) tengah diupayakan agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan baru. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya menanggapi situasi secara jangka pendek, tetapi juga mengarahkan kebijakan pada kesinambungan hubungan dagang yang sehat di masa mendatang.
Salah satu strategi adaptif yang tengah dipertimbangkan adalah relaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk produk-produk teknologi informasi dan komunikasi asal Amerika Serikat. Produk dari perusahaan besar seperti Apple dan Microsoft merupakan bagian penting dalam ekosistem industri digital di Indonesia. Pemerintah menilai bahwa fleksibilitas dalam TKDN dapat menjadi instrumen sementara untuk menjaga kelangsungan dan daya saing industri nasional. Langkah ini tetap mempertimbangkan keberlangsungan penggunaan komponen lokal, sehingga produktivitas tidak dikorbankan.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menggarisbawahi bahwa relaksasi TKDN bukan bentuk kompromi terhadap kemandirian industri, melainkan penyesuaian taktis yang berbasis kebutuhan sektor. Dalam kondisi global yang penuh ketidakpastian, strategi semacam ini menunjukkan keberanian pemerintah untuk mengambil kebijakan yang realistis, tanpa mengabaikan agenda jangka panjang.
Namun demikian, pemerintah tetap membuka ruang diskusi terhadap pandangan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan ekonom. Beberapa pihak mendorong agar Indonesia lebih aktif membangun aliansi regional, terutama melalui ASEAN. Meski demikian, pemerintah tetap menempatkan diplomasi langsung dengan AS sebagai prioritas, seraya memperluas peluang kerja sama dengan kawasan lain.
Upaya pemerintah tidak berhenti pada aspek perdagangan bilateral. Di dalam negeri, penguatan ekonomi nasional menjadi fokus utama. Hilirisasi industri, terutama di sektor mineral dan energi, terus didorong sebagai salah satu pengungkit daya saing ekspor. Dengan meningkatkan nilai tambah dari produk-produk dalam negeri, pemerintah berharap ekspor tidak hanya bergantung pada komoditas mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga global.
Diversifikasi pasar ekspor juga menjadi bagian dari strategi menghadapi kebijakan tarif AS. Pemerintah mendorong penetrasi ke kawasan seperti Asia Timur, India, Amerika Latin, dan tentu saja memperkuat basis pasar di dalam ASEAN. Dengan memperluas jangkauan, Indonesia tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap satu pasar, tetapi juga membuka peluang baru untuk produk lokal.
Stabilitas nilai tukar rupiah dijaga dengan langkah aktif dari Bank Indonesia. Melalui intervensi di pasar valas dan instrumen DNDF, otoritas moneter menunjukkan kesiapan dalam merespons tekanan eksternal. Dengan cadangan devisa yang solid dan sistem deteksi dini yang semakin canggih, Indonesia berada pada posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan periode krisis sebelumnya.
Di sisi lain, penundaan pemberlakuan tarif selama 90 hari oleh pemerintah AS dimanfaatkan dengan bijak oleh Indonesia. Pemerintah memandang jeda ini sebagai ruang untuk mempercepat reformasi struktural, terutama dalam memangkas biaya ekonomi tinggi dan menyederhanakan regulasi yang menghambat investasi. Pemerintah menyadari bahwa daya saing bukan hanya ditentukan oleh tarif, tetapi juga efisiensi sistem domestik.
Pemerintah juga menekankan pentingnya memberikan insentif kepada industri yang konsisten menggunakan komponen lokal. Insentif ini tidak hanya akan memperkuat TKDN sebagai prinsip jangka panjang, tetapi juga menjadi sinyal bahwa Indonesia tetap pada komitmennya terhadap penguatan industri dalam negeri.
Keseluruhan kebijakan yang ditempuh mencerminkan konsistensi pendekatan pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara diplomasi internasional dan ketahanan domestik. Pemerintah tidak melihat kebijakan tarif Trump sebagai ancaman permanen, tetapi sebagai tantangan yang harus dijawab dengan strategi cerdas dan kolaboratif.
Presiden Prabowo mengajak seluruh masyarakat untuk tetap percaya pada kemampuan bangsa dalam menghadapi situasi ini. Penekanan pada gotong royong, ketenangan dalam bersikap, dan kerja keras lintas sektor menjadi fondasi dari pendekatan pemerintah yang menyeluruh. Keteguhan sikap ini bukan sekadar respons politis, tetapi cerminan dari keyakinan terhadap kekuatan nasional yang telah teruji waktu.
Dengan kombinasi langkah diplomatik, reformasi ekonomi, dan penguatan sektor strategis, bangsa Indonesia tidak hanya akan mampu menjaga stabilitas di tengah tekanan global, tetapi juga dapat menjadikan krisis sebagai momentum untuk melangkah lebih maju.
*) Pengamat Ekonomi dari Pancasila Madani Institute