Oleh: Angga Yurino*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden terpilih Prabowo Subianto patut diapresiasi sebagai langkah progresif dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Diluncurkan secara resmi pada 6 Januari 2025, program ini menjadi cerminan dari komitmen kuat pemerintah dalam menciptakan generasi yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. Keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada pelaksanaan yang masif, tetapi juga pada yang telah dilakukan pemerintah dalam melakukan evaluasi menyeluruh dan inovasi berkelanjutan.
Optimisme Prabowo terhadap capaian MBG bukanlah tanpa dasar. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa lebih dari tiga juta penerima manfaat telah terlayani hingga awal April 2025. Bahkan, ia memproyeksikan bahwa cakupan akan mendekati 100 persen pada Oktober atau November. Ini adalah langkah besar bagi generasi emas 2025.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa dampak positif MBG telah terasa nyata, terutama di lingkungan sekolah. Angka kehadiran siswa meningkat hingga 99 persen di wilayah yang telah menerapkan program ini lebih dari satu tahun. Anak-anak menjadi lebih ceria, aktif, dan sehat. Ini menunjukkan bahwa intervensi gizi yang tepat sejak dini mampu mengatasi hambatan laten dalam dunia pendidikan seperti ketidakhadiran dan konsentrasi belajar yang rendah akibat kekurangan gizi.
Disisi lain, evaluasi yang terus dilakukan pemerintah dalam pelaksanaannya merupakan kebutuhan mutlak. Seperti disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, program ini memerlukan peninjauan dari segi pelaksanaannya, bukan dari idenya. Beliau menyoroti beban berat yang ditanggung oleh BGN dalam menjangkau seluruh wilayah hingga tingkat kecamatan. Menurutnya, pelibatan pemerintah daerah sebagai pelaksana utama dapat menjadi solusi agar implementasi lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
Pernyataan tersebut sangat relevan. Desentralisasi peran kepada pemerintah daerah akan memperkuat aspek pengawasan, meningkatkan responsivitas terhadap dinamika di lapangan, serta memberi ruang bagi inovasi lokal yang lebih kontekstual. Dengan dukungan dana dan standar nasional yang ketat, pemerintah daerah bisa menjadi mitra strategis dalam memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas program MBG.
Lebih dari sekadar intervensi pangan, MBG juga memiliki dimensi pendidikan yang mendalam. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menekankan bahwa program ini turut membentuk karakter siswa melalui pembiasaan nilai-nilai seperti doa sebelum makan, menjaga kebersihan, serta tanggung jawab dan kemandirian. Ini menjadikan MBG sebagai medium pembelajaran yang menyeluruh, tidak hanya untuk tubuh, tetapi juga untuk akhlak dan perilaku sosial anak-anak.
Untuk mendukung hal tersebut, Kemendikdasmen telah mengoptimalkan peran Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan memanfaatkan teknologi digital dalam memperkuat sarana-prasarana gizi di sekolah. Dashboard program MBG yang dikembangkan menjadi alat penting dalam pengambilan keputusan berbasis data. Langkah ini patut ditiru oleh lembaga lain sebagai bentuk modernisasi birokrasi berbasis bukti (evidence-based policy), demi memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan memberikan dampak nyata dan terukur.
Kualitas makanan yang disajikan juga sudah memenuhi standar gizi seimbang yang mencakup protein, karbohidrat, serat, buah, dan susu, seperti ditegaskan oleh Kepala BGN. Pengawasan lapangan juga diperkuat, termasuk melalui pelibatan masyarakat dan satuan pendidikan sebagai pengawas independen.
Selain itu, keterlibatan sektor swasta dan masyarakat sipil perlu diperluas. Kemitraan dengan koperasi lokal, petani, dan penyedia logistik di setiap daerah akan mempercepat distribusi, menekan biaya, serta mendorong ekonomi lokal. Di sinilah inovasi harus berjalan seiring dengan evaluasi. Pemerintah pusat perlu menyediakan ruang bagi kolaborasi multipihak, termasuk lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, dan perguruan tinggi dalam merancang, mengawal, serta mengevaluasi pelaksanaan program MBG secara menyeluruh.
Evaluasi dan inovasi merupakan pilar penguatan agar program ini mampu berjalan jauh dan berkelanjutan. Evaluasi memberikan peta untuk memperbaiki kelemahan, sementara inovasi memberi arah menuju efisiensi dan keberhasilan jangka panjang. Dalam konteks MBG, kedua hal ini harus menjadi proses yang terus berlangsung, bukan reaksi sesaat terhadap tekanan publik atau sorotan media.
Program MBG adalah warisan kebijakan yang akan menentukan wajah Indonesia di masa depan, terutama dalam mewujudkan cita-cita Generasi Emas 2045. Maka, keberhasilannya tidak cukup hanya diukur dari seberapa banyak nasi dan lauk dibagikan, melainkan dari seberapa dalam dampaknya terhadap tumbuh kembang anak, kemajuan pendidikan, serta kualitas hidup masyarakat rentan.
Presiden Prabowo telah memulai langkah besar. Kini, tanggung jawab kita bersama adalah memastikan setiap suap yang diberikan melalui program MBG menjadi pondasi bagi masa depan bangsa yang lebih sehat, cerdas, dan berdaya saing. Untuk itu, evaluasi menyeluruh dan inovasi tanpa henti adalah kunci utama menuju keberhasilan program ini secara menyeluruh dan berkelanjutan.
*Penulis merupakan mahasiswa asal Jakarta