DPR Pastikan RUU Penyiaran Jamin Hak Berekspresi dan Kebebasan Pers


Oleh: Simon Edon (*

Di tengah arus deras informasi digital yang serba cepat dan meluas, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengatur penyiaran yang bertanggung jawabnamun tetap menjunjung tinggi hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI, memunculkan diskursus publik yang cukup dinamis, terutama dari kalanganjurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil.

Kekhawatiran sebagian pihak muncul karena ada anggapan bahwa regulasi baru inibisa berpotensi membatasi ruang gerak jurnalisme investigatif, penyiaran kontendigital, serta peran media dalam mengkritisi kekuasaan. Namun, penting untukmenelaah lebih dalam bahwa semangat penyusunan RUU ini bukan untukmengekang, melainkan untuk merespons kebutuhan zaman, memperkuatperlindungan hukum di dunia penyiaran, dan menjaga kedaulatan informasinasional.

Salah satu tokoh yang menyuarakan pentingnya menjaga keseimbangan dalam revisiini adalah Direktur Utama Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, Akhmad Munir. Ia menegaskan bahwa kebebasan pers adalah amanat konstitusi dan telahdijamin secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh sebab itu, menurut Munir, revisi RUU Penyiaran harus tetap menjaminpenyelenggaraan kebebasan pers, hak berekspresi, serta kemerdekaan berpendapat.

Penting dicatat, Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-108 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2023 versi Reporters Without Borders (RSF). Meskilebih baik dibanding beberapa negara tetangga, posisi ini menunjukkan bahwa masihbanyak ruang perbaikan, khususnya dalam aspek regulasi yang mendukungindependensi jurnalis dan perlindungan terhadap kerja jurnalistik yang kritis namunbertanggung jawab. Revisi UU Penyiaran diharapkan tidak menjadi langkah mundur, tetapi justru menjadi momentum untuk memperkuat peran media di era digital.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, dalam berbagai kesempatanmenegaskan bahwa pihaknya berkomitmen memastikan kebebasan pers tetapterjaga. DPR memahami bahwa salah satu kekhawatiran terbesar insan pers adalahpotensi kriminalisasi atas karya jurnalistik, atau adanya pasal-pasal multitafsir yang dapat digunakan untuk membatasi ruang gerak media. Oleh karena itu, Dave menyampaikan bahwa pembahasan RUU Penyiaran dilakukan secara terbuka dan hati-hati, serta mengedepankan konsultasi publik bersama para pemangkukepentingan, termasuk Dewan Pers.

Dalam RUU Penyiaran yang beredar di ruang publik, memang terdapat sejumlahpasal yang menjadi sorotan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai pelaranganpenayangan jurnalisme investigasi, serta pelibatan aparat negara dalam proses perizinan penyiaran. Namun, melalui proses penyempurnaan, pasal-pasal tersebutakan ditinjau kembali secara komprehensif agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pers dan demokrasi.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan klarifikasi terkaitkekhawatiran adanya intervensi terhadap kebebasan media asing. Menurutnya, RUU Penyiaran tidak dimaksudkan untuk membatasi kerja jurnalistik, tetapi lebih kepadamemberikan perlindungan terhadap warga negara asing (WNA), termasuk jurnalisasing, yang bekerja di wilayah Indonesia, terutama di daerah yang rawan konflikatau bencana. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf a dalam draft RUU, yang menyebutkan tujuan regulasi adalah untuk “mencegah dan menanggulangi ancamanterhadap keamanan dan keselamatan orang asing.”

Pendekatan ini bukanlah bentuk represi, melainkan bagian dari tanggung jawabnegara dalam melindungi seluruh entitas yang berada di wilayah yurisdiksinya. Dalam praktik internasional, pengawasan dan perlindungan terhadap jurnalis asingjuga dilakukan di banyak negara, termasuk negara-negara demokrasi maju. Kuncinya adalah memastikan koordinasi yang baik antara lembaga negara dan tidakmenjadikan regulasi sebagai alat pembungkaman.

Di sisi lain, revisi RUU Penyiaran juga mencoba menjawab tantangan baru dari era digital. Lahirnya berbagai platform Over-The-Top (OTT) seperti YouTube, Netflix, dan TikTok telah menggeser pola konsumsi media masyarakat. Di sinilah pentingnyaregulasi baru yang tidak hanya mengatur media konvensional, tetapi juga memberikepastian hukum terhadap konten digital, terutama dalam hal tanggung jawabpenyiaran, sensor, perlindungan anak, serta disinformasi.

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkanbahwa pada 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 215 jutaorang, atau sekitar 78,19% dari total populasi. Mayoritas dari mereka mengaksesinformasi dari media sosial dan platform digital. Tanpa regulasi yang adaptif, ruangdigital bisa dengan mudah dipenuhi oleh hoaks, ujaran kebencian, hingga kontenprovokatif yang tidak terverifikasi.

Maka dari itu, kehadiran RUU Penyiaran yang baru seharusnya tidak hanyadipandang dari kacamata kekhawatiran, tetapi juga sebagai peluang untukmemperkuat sistem penyiaran nasional yang lebih bertanggung jawab, seimbang, dan inklusif.

Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Namun, kebebasan yang tidak diiringi tanggung jawab juga dapat menimbulkandisinformasi yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, mari kita dukung proses legislasi ini dengan semangat kritis namun konstruktif.

Negara melalui DPR RI dan pemerintah memiliki itikad baik untuk menghadirkanregulasi yang adil dan visioner. RUU Penyiaran bukan untuk membungkam, tetapiuntuk melindungi, membimbing, dan memperkuat peran media sebagai mitrastrategis dalam pembangunan bangsa. Bersama, kita bisa ciptakan ekosistempenyiaran yang sehat, profesional, dan demokratis.

(* Penulis merupakan pemerhati lingkungan Urban Catalyst Institute

[edRW]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *